Jumat, 02 Desember 2011

Masjid Shiratal Mustaqiem

Deskripsi arsitektur
Masjid Shiratal Mustaqiem adalah masjid tertua di Samarinda yang terletak di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Masjid ini dibangun pada tahun 1881.
Masjid Shiratal Mustaqiem
Masjid Shiratal Mustaqiem (2).jpg Masjid Shiratal Mustaqiem Samarinda
Letak Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
Afiliasi agama Islam
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur Masjid
Tahun selesai 1881
Spesifikasi
Masjid Shiratal Mustaqiem adalah masjid tertua di Samarinda yang terletak di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Masjid ini dibangun pada tahun 1881.

[sunting] Sejarah

Menara Masjid.
 
Jenis arsitektur Masjid
Tahun selesai 1881

Sejarah

Menara Masjid.
Sekitar tahun 1880 silam, datang seorang pedagang muslim dari Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) bernama Said Abdurachman bin Assegaf ke Kerajaan Kutai. Berdasarkan pertimbangan berdagang sembari menyiarkan Agama Islam, ia memilih kawasan Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya. Hal itu ditanggapi dengan baik oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman. Melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalaankan syariat agama Islam, sultan akhirnya mengizinkan Said Abdurachman tinggal di kawasan Samarinda Seberang.
Mengemban amanat sebagai tokoh masyarakat bergelar Pengeran Bendahara, Said Abdurachman mempunyai tanggungjawab besar. Dulu wilayah ini adalah tempat maksiat. Orang kampung hampir tak ada yang berani ke wilayah ini karena takut. Tapi tidak dengan Pangeran Bandahara. Beliau malah mendatangi mereka yang berjudi dan mengajaknya untuk menjalankan syariat Islam.
Setelah berunding, akhirnya disepakati menjadikan tempat itu sebagai masjid untuk ibadah. Proses pembangunan masjid tersebut tentunya tak mudah. Kendati bergotong royong, untuk mendirikan 4 tiang utama atau yang disebut soko guru yang diperkirakan mempunyai tinggi 7 meter, warga tak sanggup karena besarnya tiang.
Hingga akhirnya datang seorang nenek dengan menggunakan jubah putih ke hadapan mereka. Siapa dia tak ada yang tahu. Namun ia berpesan kepada Pengeran Bendahara dan sejumlah pengikutnya. Disebutkan, ia akan membantu mendirikan 4 tiang utama tersebut dengan syarat tak ada satu wargapun yang melihat prosesi pendiriannya.
Keesokan harinya, sejumlah warga tertegun melihat 4 tiang utama sudah berdiri tegak. Bahkan saat warga mencoba mencari sosok seorang nenek tersebut, mereka tak kunjung menemukannya. Sehingga warga tak ada yang tahu pasti siapa dia.
Sepuluh tahun kemudian atau tepatnya 27 Rajab 1311 Hijriyah, pembangunan masjid akhirnya rampung. Sultan Kutai Aji Mohammad Sulaiman yang meresmikan masjid tersebut juga didaulat menjadi imam dan memimpin salat yang pertama di masjid tersebut.
Tempat ibadah umat Islam itu diketahui terbuat dari bahan Ulin yang digunakan sebagai bahan utama pembangunan masjid diambil dari empat kampung, diantaranya Karang Mumus, Dondang, Kutai Lama, dan Loa Haur.
Hingga saat ini arsitektur masjid yang selesai dibangun tahun 1891 itu tak ada yang berubah. Kendati ada perawatan yang dilakukan. Bahkan masjid bersejarah kedua terbaik se-Indonesia itu, menjadi lokasi yang sakral bagi warga setempat.[1]
Masjid ini memiliki luas bangunan sekitar 625 m² dan teras sepanjang 16 meter. Mulanya di lokasi ini dipilih karena diketahui sebagai sarang perjudian dan tempat penyembahan berhala. Karena itu, maka ketiga tokoh tersebut membangunnya agar dapat menghentikan kegiatan maksiat dan sesat tersebut. Buktinya, setelah terbangun (Masjid Shiratal Mustaqiem), ternyata kegiatan maksiat pun menghilang dan wilayah ini (Kampung Mesjid) semakin populer kala itu. Karena kepolulerannya itulah, maka daerah tempat berdirinya masjid ini diberi nama Kampung Mesjid dan kini menjadi kelurahan Mesjid.


Masjid Tua Palopo

Deskripsi arsitektur
Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu yang berlokasi di kota Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu yang bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Masjid yang memiliki luas 15 m² ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.[1]
 
Jenis arsitektur
Tahun selesai
Spesifikasi
 

Aristektur

Arsitektur Masjid Tua Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang bersebati (melekat) dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam.

Unsur

Pertama, unsur lokal Bugis.[1] Unsur ini terlihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang ditandai oleh bentuk pelipit (gerigi); dan pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau, putih dan coklat.
Kedua, unsur Jawa.[1] Unsur ini terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap rumah joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga atau sering disebut tajug. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramida paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (Cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari Cina.
Terdapat dua pendapat seputar bentuk atap Masjid Tua Palopo ini.[2] Yang pertama mengatakan bahwa atap tersebut mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa. Sementara yang kedua menolak pendapat itu, dengan berargumen bahwa bentuk tersebut merupakan pengembangan dari konsep lokal masyarakat Sulawesi Selatan sendiri. Namun demikian, mengingat hubungan antara kedua masyarakat telah terjalin begitu lama, wajar jika terjadi akulturasi budaya.[2]
Susunan atap pertama dan kedua disangga empat tiang yang terbuat dari kayu cengaduri, dengan tinggi 8,5 meter dan berdiameter 90 cm. Keempat tiang tersebut dalam konsep Jawa disebut sokoguru. Sementara itu, atap paling atas ditopang dengan satu tiang terbuat dari kayu yang sama. Dalam kearifan lokal Sulawesi Selatan, satu tiang penyangga atap paling atas yang didukung oleh empat tiang lainnya merefleksikan yang sentral (wara) dikelilingi oleh unsur-unsur lain di luar yang sentral (palili).[2]
Ketiga, unsur Hindu.[1] Unsur ini terlihat pada denah masjid yang berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konstruksi candi. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan bunga lotus, mirip dengan hiasan di Candi Borobudur. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa.
Keempat, unsur Islam.[1] Unsur ini terlihat pada jendela masjid, yaitu terdapat lima terali besi yang berbentuk tegak, yang melambangkan jumlah Salat wajib dalam sehari semalam.

Bangunan

Ukuran bangunan utama Masjid Tua Palopo yaitu 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m,[2] dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi di Jawa.
Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo atau candi candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya.[2]

 Renovasi

Sejauh ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid. Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m².[2]
Bentuk arsitektur Masjid Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, tidak berubah.[2]

Masjid Agung Awwal Fathul Mubien

Masjid Agung Awwal Fathul Mubien adalah sebuah masjid yang berlokasi di Jalan Sultan Hasanuddin, kelurahan Islam, kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara. Masjid ini didirikan sekitar tahun 1770 dan merupakan masjid pertama yang dibangun di kota Manado.[1][2]
Jenis arsitektur
Tahun selesai

Sejarah

Sekitar tahun 1760, ketika Kota Manado mulai membuka dirinya sebagai lintasan perdagangan rempah-rempah di wilayah KTI setelah Makassar, Ternate dan Ambon, Kota Manado mulai dijadikan daerah transit (persinggahan) para pedagang.[1] Awalnya para pendatang yang berprofesi sebagai pedagang dan beragama Islam dari Ternate, Tidore, Makian (Maluku Utara) dan Hitu (Ambon), mulai tinggal dan menetap sementara di Manado, tepatnya di kawasan Pondol.[1]
Seiring waktu dengan kian ramainya jalur perdagangan, para pedagang Islam dari Jawa Tengah, Solo, Yogyakarta serta Surabaya, pun mulai ikut menetap. Banyak dari mereka yang juga berprofesi sebagai pegawai yang bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda.[1] Makin banyaknya penduduk muslim baru di Manado, mereka perlahan-lahan mulai berpikir untuk mendirikan atau membangun suatu perkampungan baru yang khusus bagi komunitas muslim, agar mereka lebih leluasa menjalankan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan agama.
Keinginan mereka baru bisa terealisasi sekitar 1770 atau 10 tahun kemudian.[1] Itupun dengan persetujuan pemerintah Belanda yang memilih lokasi kosong dan layak untuk di huni, yakni ujung Utara Manado, kala itu bernama Kampung Suraya. Kampung itulah kemudian menjadi tempat bagi pendatang komunitas muslim dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya.

 Kampung Islam

Menurut penuturan Hi. Hasan Jan SE, dalam sebuah risalah singkatnya mengenai sejarah berdirinya Masjid Awal Fathul Mubien menilai, daerah tersebut dipilih karena waktu itu, wilayah tersebut rawan konflik. Artinya sering terjadi perang antar suku asli yang mendiami kawasan Manado bagian Utara dengan suku asli yang mendiami kawasan Manado bagian Selatan.
Kampung Islam mulai bertambah ramai menyusul pendatang baru yang datang dari Palembang, Padang, Banjar, Makassar, Indramayu dan Cirebon. Bahkan para pedagang Timur Tengah dari Hadramaut Yaman yang masuk melalui pantai Utara Jawa.
Di tengah-tengah kampung kemudian di dirikanlah sebuah Masjid yang diberi nama Awal Fathul Mubien yang berarti sebagai awal atau pembuka yang nyata. Kira-kira sekitar 1802 dengan keadaan bangunan masjid masih menggunakan pondasi karang berlantai papan.
Sedangkan dibagian ujung kampung disediakan lahan pekuburan khusus bagi penduduk Kampung Islam.

Pemugaran
Sekitar 1830 bangunan masjid untuk pertama kalinya dipugar. Masjid direnovasi menjadi lebih besar dengan ukuran 8 x 8 meter, dengan pondasi mulai memakai campuran kapur dengan tras. Perbaikan bangunan masjid terus dilakukan. Tahun 1930, diubah menjadi 8 x 12 meter. Selanjutnya diperluas lagi menjadi 8 x 14 meter. Selanjutnya antara 1967 – 1995 diperluas menjadi 26 x 26 meter.[3] Dan pada 2001 sampai sekarang terus dilakukan perbaikan, dengan pemasangan tegel/keramik pada semua bagian masjid. Ini dilakukan selain makin bertambahnya penduduk muslim, juga intensitas kegiatan dalam mengembangkan kebudayaan Islam makin banyak. Seperti, baca tulis Al-Quran, Barzanji, baca doa Maulud, kesenian Hadrah dan Samra.
Sebagai masjid pertama di Kota Manado dan kedua terbesar setelah Masjid Raya Ahmad Yani, Masjid Awal Fathul Mubien diberikan status sebagai masjid Agung pada 1 Juli 1991.[1] Tercatat pula, sejak masjid didirikan 1770 sampai sekarang, sudah 7 orang yang dipilih sebagai imam yakni, Taher Umar, Hi. Ahmad Buntjong, Hi. Umar Jaseh, Akwan Hamadi, Hi. Said T Bachmid, Achmad Z Makkah dan Drs Hi. Abdurrahman Noh (imam saat ini).[1]

Masjid Agung Wolio

Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu'min atau lebih dikenal dengan Masjid Agung Wolio adalah sebuah masjid yang berlokasi di Kota Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.

 Sejarah

Masjid ini dibangun pada tahun 1712 oleh Sultan Sakiuddin Durul Alam yang memimpin Kesultanan Buton ketika itu merupakan masjid tertua di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan merupakan lambang kejayaan Islam di masa itu. Para ahli meyakini Masjid Agung Wolio adalah masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Namun, sejatinya ada sebuah masjid lain yang lebih tua yang dibangun di masa pemerintah Sultan pertama Buton, Kaimuddin Khalifatul Khamis atau Sultan Murhum (1427-1473). Hanya, masjid itu terbakar dalam perang saudara di Kesultanan Buton. Selanjutnya, Sultan Sakiuddin Darul Alam, yang berhasil memenangi perang saudara tersebut, membangun Masjid Agung Wolio untuk mengganti masjid yang musnah terbakar.
Masjid berusia lebih dari 300 tahun yang terletak di dalam bekas kompleks keraton Kesultanan Buton kini tetap dimanfaatkan oleh masyarakat, bukan hanya yang berada di sekitar Masjid tetapi penduduk Kota Baubau dan Kabupaten Buton[1].

Pusat bumi

Masyarakat setempat banyak yang percaya, Masjid Agung Wolio dibangun di atas pusena tanah (pusatnya bumi). Pusena tanah tersebut berupa pintu gua di bawah tanah yang berada tepat di belakang mihrab. Disebut pusena tanah karena dari pintu gua vertikal itu konon sering terdengar suara azan dari Mekkah, Arab Saudi. Ada lagi mitos yang menyebutkan, jika melongok ke dalam lubang pusena, orang bisa melihat orang tua atau kerabat yang telah meninggal.
Namun, semua cerita rakyat itu dibantah Imam Masjid Agung Wolio, La Ode Ikhwan, 65 tahun. Menurut dia, lubang yang ada di masjid itu sebenarnya adalah pintu rahasia yang sengaja dibangun untuk menyelamatkan Sultan Buton dan keluarganya jika diserang musuh. Ikhwan mengaku pernah masuk ke lubang itu. Di dalam lubang, kata dia, terdapat lima jalan rahasia yang mengarah ke sejumlah tempat tertentu di kompleks benteng. Salah satu jalan rahasia itu ada yang tembus ke selatan benteng, tak jauh dari kompleks makam Sultan Buton[2]. Ketika masjid ini direhabilitasi pertama kali di masa kekuasaan Sultan Muhammad Hamidi pada 1930-an, pintu gua tadi ditutup semen sehingga liangnya menjadi kecil dan bulat sebesar bola kaki. Agar tak menimbulkan persepsi lain dari masyarakat, lubang tersebut ditutup dan di atasnya dibuat tempat imam memimpin salat.
Jenis arsitektur
Tahun selesai

Masjid Agung Al-Karomah

Deskripsi arsitektur
 
Masjid Agung Al-Karomah
Masjidalkaromah-martapura.jpg
Letak Bendera Indonesia Banjar, Indonesia
Afiliasi agama Islam
Provinsi Kalimantan Selatan
Distrik Martapura
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur Masjid
Gaya arsitektur Jawa, Banjar, Eropa
Tahun selesai 1863
Spesifikasi
Menara 1
Jenis arsitektur Masjid
Gaya arsitektur Jawa, Banjar, Eropa
Tahun selesai 1863
Masjid Agung Al Karomah[1] adalah masjid besar yang terletak di Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan dan merupakan masjid terbesar di Kalimantan Selatan. Masjid ini juga merupakan markah tanah dari Kota Martapura karena mudah diakses dari seluruh kota di Kalimantan Selatan karena terletak di Jl. Ahmad Yani yang merupakan jalan utama (jalan nasional) antar kota, terutama dari Kaltim (arah utara) hingga Kota Banjarmasin.

Sejarah

Sebagai pusat Kerajaan Banjar, Martapura tercatat menjadi saksi 12 sultan yang memerintah. Pada waktu itu Mesjid berfungsi sebagai tempat peribadatan, dakwah Islamiyah, integrasi umat Islam dan markas atau benteng pertahanan para pejuang dalam menantang Belanda. Akibat pembakaran Kampung Pasayangan dan Masjid Martapura, muncul keinginan membangun Masjid yang lebih besar. Tahun 1280 Hijriyah atau 1863 Masehi, pembangunan masjid pun dimulai.[2]
Bangunan asli Masjid Al-Karomah pada zaman pendudukan Belanda. Sebelumnya masjid ini bernama Masjid Jami Martapura.
Masjid Agung Al Karomah, dulunya bernama adalah Masjid Jami’ Martapura, yang didirikan oleh panitia pembangunan masjid yaitu HM. Nasir, HM. Taher (Datu Kaya), HM. Apip (Datu Landak). Kepanitiaan ini didukung oleh Raden Tumenggung Kesuma Yuda dan Mufti HM Noor.[2]
Menurut riwayatnya, Datuk Landak dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito, Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan Masjid lalu disepakati.
Tepat 10 Rajab 1315 H (5 Desember 1897 M) dimulailah pembangunan Masjid Jami’ tersebut. Secara teknis bangunan masjid tersebut adalah bangunan dengan struktur utama dari kayu ulin dengan atap sirap, dinding dan lantai papan kayu ulin. Seiring dengan perubahan masa dari waktu ke waktu masjid tersebut selalu di renovasi, tapi struktur utama tidak berubah.[2]
Malam Senin 12 Rabiul Awal 1415 H dalam perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, Masjid Jami’ Martapura diresmikan menjadi Masjid Agung Al Karomah.[2] Saat ini Masjid Agung Al Karomah berdiri megah dengan konstruksi beton dan rangka atapnya terbuat dari baja stainless, yang terangkai dalam struktur space frame. Untuk kubahnya dilapisi dengan bahan enamel.
Di dalam masjid, sampai saat ini masih dapat ditemukan dan dilihat struktur utama Masjid Jami Martapura yang tidak dibongkar, sehingga dapat dilihat sebagai bukti sejarah mulai berdirinya masjid tersebut.

 Aristektur

Dilihat dari segi arsitekturnya, bentuk Masjid Agung Al Karomah Martapura mengikuti Masjid Demak Buatan Sunan Kalijaga. Miniaturnya dibawa utusan Desa Dalam Pagar dan ukurannya sangat rapi serta mudah disesuaikan dengan bangunan sebenarnya sebab telah memakai skala.[2]
Sampai saat ini bentuk bangunan Masjid menurut K.H. Halilul Rahman, Sekretaris Umum di kepengurusan Masjid sudah tiga kali rehab. Dengan mengikuti bentuk bangunan modern dan Eropa, sekarang Masjid Agung Al Karomah Martapura terlihat lebih megah. Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama Masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam Masjid.
Arsitektur Masjid Agung Al Karomah Martapura yang menelan biaya Rp. 27 miliar pada rehab terakhir sekitar tahun 2004, banyak mengadopsi bentuk Timur Tengah. Seperti atap kubah bawang dan ornamen gaya Belanda. Semula atap Masjid berbentuk kerucut dengan konstruksi beratap tumpang, bergaya Masjid tradisional Banjar. Setelah beberapa kali rehab akhirnya berubah menjadi bentuk kubah.
Bila arsitektur bangunan banyak berubah, namun mimbar tempat khatib berkhutbah yang berumur lebih satu abad sampai sekarang berfungsi. Mimbar berukiran untaian kembang dan berbentuk panggung dilengkapi tangga yang sampai sekarang masih berfungsi dan diarsiteki H.M Musyafa.
Pola ruang pada Masjid Agung Al Karomah juga mengadopsi pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Karena mengalami perluasan arsitektur Masjid Agung Demak hanya tersisa dari empat tiang ulin atau disebut juga tiang guru empat dari bangunan lama.
Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella atau ruang keramat. Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab. Sejarahnya tiang guru empat menggunakan tali alias seradang yang ditarik beramai-ramai oleh Datuk Landak bersama masyarakat. Atas kodrat dan iradat Tuhan YME tiang Guru Empat didirikan. Masjid pertama kali dibangun berukuran 37,5 meter x 37,5 meter.

Masjid sultan suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah
Samping Masjid Suriansyah.jpg Masjid Sultan Suriansyah
Letak Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia
Afiliasi agama Islam
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur Masjid
Spesifikasi
Jenis arsitektur Masjid
Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam.[1] Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih.[2] Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di tepian kiri sungai Kuin.
Masjid yang didirikan di tepi sungai Kuin ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.

Masjid Kuno

Mimbar Masjid Sultan Suriansyah.
Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi : " Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia." Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)" .[3] Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanggal 10 Sya'ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidullah I (1734-1759).
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi "Allah Muhammadarasulullah". Pada bagian kanan atas terdapat tulisan "Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri". Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.

[sunting] Filosofi Ruang

Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.

Masjid Raya Sabilal Muhtadin

Masjid Raya Sabilal Muhtadin

Masjid Raya Sabilal Muhtadin
Informasi umum
Lokasi Bendera Indonesia Banjarmasin, Indonesia
Alamat Jalan Sudirman, Kelurahan Antasan Besar, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin
Koordinat 3°19′8.20″S 114°35′28.40″E
Halaman Belakang Masjid Raya Sabilal Muhtadin BanjarmasinMasjid Raya Sabilal Muhtadin adalah sebuah Masjid Raya yang terletak di Kelurahan Antasan Besar, kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di dalam kompleks mini juga terdapat kantor MUI Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di tepi barat sungai Martapura dan dibangun pada tahun 1981.[1] Di Masjid ini akan diselenggarakan Seleksi Tilawatil Quran Nasional (STQN) Ke XXI 2011 pada tanggal 4-11 Juni 2011.[2]
Sabilal Muhtadin, nama pilihan untuk Mesjid Raya Banjarmasin ini, adalah sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap Ulama Besar alm. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (17101812 M) yang selama hidup-nya memperdalam dan mengembangkan agama Islam di Kerajaan Banjar atau Kalimantan Selatan sekarang ini. Ulama Besar ini tidak saja dikenal di seluruh Nusantara, akan tetapi dikenal dan dihormati meliwati batas negerinya sampai ke Malaka, Filipina, Bombay, Mekkah, Madinah, Istambul dan Mesir.

Bangunan fisik

Mesjid Raya Sabilal Muhtadin ini di-bangun di atas tanah yang luasnya 100.000 M2, letaknya ditengah-tengah kota Banjarmasin, yang sebelumnya adalah Kompiek Asrama Tentara Tatas. Pada waktu zaman kolonialisme Belanda tempat ini dikenal dengan Fort Tatas atau Benteng Tatas. Bangunan Mesjid terbagi atas Bangunan Utama dan Menara; bangunan utama luasnya 5250 M2, yaitu ruang tempat ibadah 3250 M2, ruang bagian dalam yang sebagian berlantai dua, luasnya 2000 M2. Menara mesjid terdiri atas 1 menara-besar yang tingginya 45 M, dan 4 menara-kecil, yang tingginya masing-masing 21 M. Pada bagian atas bangunan-utama terdapat kubah-besar dengan garis tengah 38 M, terbuat dari bahan aluminium sheet Kalcolour ber-warna emas yang ditopang oleh su-sunan kerangka baja. Dan kubah menara-kecil garis-tengahnya 5 dan 6 M.
Kemudian seperti biasanya yang ter dapat pada setiap mesjid-raya, maka pada Mesjid Raya Sabilal Muhtadin ini juga, kita dapati hiasan Kaligrafi bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an dan As-maul Husna, yaitu 99 nama untuk Ke-agungan Tuhan serta nama-nama 4 Khalifah Utama dalam Islam. Kaligrafi itu seturuhnya dibentuk dari bahan tembaga yang dihitamkan dengan pe-milihan bentuk tulisan-arab (kaligrafi) yang ditangani secara cermat dan tepat, maksudnya tentu tiada lain adalah upaya menampilkan bobot ataupun makna yang tersirat dari ayat-ayat suci itu sendiri. Demikian juga pada pintu, krawang dan railing, keseluruh annya dibuat dari bahan tembaga de ngan bentuk relief berdasarkan seni ragam hias yang banyak terdapat di daerah Kalimantan.
Dinding serta lantai bangunan, menara dan turap plaza, juga sebagian dari kolam, keseluruhannya berlapiskan marmer; ruang tempat mengambil air wudhu, dinding dan lantainya dilapis de-ngan porselein, sedang untuk plaza keseluruhannya dilapis dengan keramik. Seluruh bangunan Mesjid Raya ini, dengan luas seperti disebut di atas, pada bagian dalam dan halaman bangunan, dapat menampung jemaah sebanyak 15.000 orang, yaitu 7.500 pada bagian dalam dan 7.500 pada bagian halaman bangunan.

Konsep estetika interior masjid

Peranan elemen-hias pada sebuah bangunan, bila diolah secara cermat dan diarahkan dengan tepat, akan tam-pak bukan saja sesuatu yang 'indah dimata' akan tetapi sekaligus dapat bermakna lain pada diri kita. Bisa jadi memberikan pengalaman batin yang menyentuh dan menimbulkan macam-macam perasaan, misalnya perasaan haru, kagum, syahdu dan seterusnya. Dengan ini berarti kita berbicara me-ngenai wawasan estetis dan pemilihan teknis dari seorang seniman untuk se-lanjutnya sebagai konsep dasar pijakan kreatifitasnya.

Tiga pokok pijakan

Sejalan dengan hal yang baru di-sebut di atas, maka wawasan estetis pada bangunan Mesjid Raya Sabilal Muhtadin ini dilakukan dalam tiga pokok pijakan sebagai berikut.
  1. Sesuatu yang dapat memberikan dan menimbulkan rasa keagama an yang lebih dalam.
  2. Ornamen-dekoratif yang selaras dan fungsional sesuai dengan arsitektur mesjid.
  3. Sebagai ciri-khas atau identitas yang menunjukkan kekayaan kebudayaan lingkungan Kalimantan.

 Kaligrafi

Atas dasar ini, maka elemen-estetik untuk mesjid-raya ini dibentuk dalam kaligrafi-arab dengan mengambil ayat-ayat Al-Quran, Asmaul Husna, yaitu 99 nama Keagungan Tuhan dan nama-nama 4 Khalifah Utama dalam Islam Kaligrafi ini kemudian dirangkai dan dipadu dengan unsur-unsur ragam-hias motif tumbuh-tumbuhan, yaitu sebagdi tradisi seni-hias pada bangunan bangunan mesjid seluruh dunia.
Bentuk floral (tumbuh-tumbuhan) ini memberikan sesuatu kesan hidup dan dinamis, akan tetapi yang terpenting adalah menghindarkan ke-cendrungan untuk menjadi gambar pe-mujaan, seperti halnya gambar yang bertemakan bentuk manusia dan he-wan. Demikian pula ayat-ayat suci yang dituliskan dalam bentuk khat in-dah dengan Gaya Naski, Diwani, Riqah, Tsulus dan Kufik, kiranya menimbulkan rasa kekayaan citarasa dan khayal-seni untuk meluhurkan puja kepada Tuhan.

 Desain keseluruhan

Disain keseluruhan bangunan mesjid, dengan kubah besar, tiang-tiang kokoh dan tegap serta dinding tebal dan padat yang keseluruhan dibalut oleh le-bih kurang 14.830 M2 pualam kremmuda seakan memberikan suasana be-rat, kukuh dan kadahg-kadang terasa menekan. Kesan ini timbul balk dari eksteriornya maupun interiornya. Kesejuruhan keadaan banguann mesjid seperti disebut di atas menjadi per-timbangan dalam memperhitungkan pembuatan elemen-estetik yang akan ditempatkan dalam ruang dalam dan luar bangunan mesjid itu.
Penetapan disain krawang untuk pintu-utama, pintu samping dan din-ding, adalah upaya untuk memberikan keseimbangan antara 'rasa berat' yang ditimbulkan fisik bangunan dan 'rasa ringan' yang ditimbulkan oleh sifat 'tembus pandang' dari ornamen krawang tersebut. Lampu hias (chandelier) yang terdiri dari 17 buah unit gan-tungan dengan ribuan bola kaca ter-susun dalam lingkaran bergaris tengah 9 M, menimbulkan 'rasa-ringan' yang ditempatkan sebagai kontras terhadap fisik bangunan itu sendiri.

Masjid Al-Muqarrabin

Masjid Al-Muqarrabin adalah sebuah masjid yang terletak di desa Labala[1] (desa Leworaja), Kabupaten Lembata, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia[2]. Pembangunan Masjid al-Muqarrabin di Labala berkembang seiring dengan tersebarnya ajaran Islam di kawasan tersebut.
 

Sejarah

Berdasarkan catatan sejarah lokal, masjid ini dibangun pada tahun 1923 M atas prakarsa Raja Labala dari Dinasti Mayeli, anak Raja Baha. Dalam proses penyebaran Islam di kawasan ini, Raja Labala dibantu oleh raja-raja Islam dari Pulau Andonara dan Pulau Solor, seperti Raja Terong dari Kerajaan Terong, Raja Ratuloit dari Lemahala, Raja Lohayong dan Raja Lamakera. Sebagai wujud kerjasama dalam penyebaran Islam tersebut, Raja Ratuloit dari Kerajaan Lemahala mengirim seorang dai keturunan China yang bernama Baba Abdullah.
Hingga akhir hayatnya, Baba Abdullah menjadi imam di Masjid al-Muqarrabin dan aktif berdakwah menyebarkan Islam di Labala. Jasa Baba Abdullah sangat besar dalam penyebaran Islam di Labala hingga ke desa Lamanunang di bagian timur dan desa Mulankera di bagian barat pulau Lembata.

Aksesibilitas

Berkaitan dengan Labala, desa ini terletak di selatan pulau Lembata, Kabupaten Lembata (sebelumnya masuk wilayah kabupaten Flores Timur). Desa ini agak terisolasi, karena tekstur tanahnya yang berbukit-bukit, sehingga jalur perhubungan darat belum memadai.
Transportasi utama menuju Labala adalah angkutan laut dengan menggunakan perahu motor. Walaupun kawasan ini masih cukup terisolir hingga saat ini, namun ternyata cukup banyak menyimpan sejarah. Pada masa dulu, di daerah ini pernah berdiri kerajaan Lembata yang menganut agama Hindu. Bukti keberadaannya bisa dilihat dari peninggalan prasasti yang menggunakan huruf Kawi, yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai prasasti Berkah Kerama. Prasasti ini dianggap keramat, karena itu selalu diletakkan dalam posisi yang tinggi di rumah adat. Dalam perkembangannya, desa Labala berganti nama menjadi Desa Gaya Baru Leworaja. Hingga saat ini, nama yang terakhir masih tetap digunakan.

 Renovasi

Pada awal pembangunannya, masjid ini mampu menampung 200 jamaah. Setelah dilakukan renovasi pada tahun 1995, kapasitas masjid menjadi lebih luas sehingga mampu menampung 400 jamaah.
Arsitek masjid ini adalah Haji Olong Koli yang berasal dari desa Kampung Gorang Lamahala, Flores Timur. Masjid ini telah dua kali direnovasi. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1972 di bawah prakarsa kepala desa Labala (desa Gaya Baru) Muhammad Soap dengan mengganti atap ilalang menjadi seng. Renovasi kedua dilakukan pada tahun 1995 di bawah prakarsa kepala desa Samin Sado dengan memperluas masjid sehingga mampu menampung 400 jamaah[2].
Jenis arsitektur
Tahun selesai
Spesifikasi

Masjid Bayan Beleq

Masjid Bayan Beleq adalah sebuah masjid yang terletak di kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat atau sekitar 80 km dari ibukota provinsi NTB, yakni Mataram.

Arsitektur

Bentuk masjid ini memang tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah sekitarnya. Bentuknya yang sederhana membuatnya tidak mudah untuk dikenali dari tepi jalan. Bangunan masjid ini memiliki ukuran 9 x 9 meter. Dinding-dindingnya rendah dan terbuat dari anyaman bambu, atapnya berbentuk tumpang yang disusun dari bilah-bilah bambu, sedangkan fondasi lantainya terbuat dari batu-batu kali. Sementara itu, lantai masjid terbuat dari tanah liat yang telah ditutupi tikar buluh. Di sudut-sudut ruang masjid terdapat empat tiang utama penopang masjid, yang terbuat dari kayu nangka berbentuk silinder. Di dalam masjid tersebut, juga terdapat sebuah bedug dari kayu, yang digantung di tiang atap masjid.
Meski bentuknya sederhana, namun Masjid Bayan Beleq memiliki keistimewaan tersendiri, yakni telah menjadi salah satu situs bersejarah yang ada di Indonesia. Masjid ini berdiri pada abad ke-17, yang berarti usianya telah lebih dari 300 tahun. Kecamatan Bayan memang salah satu gerbang masuknya Islam di Pulau Lombok. Di kecamatan inilah, Islam pertama kali diperkenalkan, dan Masjid Bayan Beleq merupakan masjid pertama yang berdiri di pulau ini. Di dalam masjid ini, terdapat beleq (makam besar) salah seorang penyebar agama Islam pertama di kawasan ini, yakni Gaus Abdul Rozak. Selain itu, di belakang kanan dan depan kiri masjid terdapat dua gubuk kecil. Di dalam kedua gubuk ini, terdapat makam tokoh-tokoh agama yang turut membangun dan mengurusi masjid ini sedari awal.
Sehari-hari, Masjid Bayan Beleq tidak lagi digunakan oleh masyarakat sekitar. Namun, masjid ini akan kembali ramai pada hari besar agama Islam. Salah satunya pada saat perayaan Maulid Nabi Muhammad. Perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad ini biasanya diadakan selama dua hari. Di saat perayaan, Masjid Bayan Beleq akan dipenuhi oleh pengunjung. Pada perayaan Maulid Nabi ini, para pengunjung yang ingin mengikuti prosesi upacara, diwajibkan untuk mengikuti peraturan yang ada, semisal harus menggunakan baju adat sasak seperti dodot, sapuk, dan lainnya. Bagi wisatawan yang berasal dari luar Pulau Lombok, dapat menggunakan pesawat terbang dari Jakarta, Surabaya, Bali, dan kota-kota lain. Dari Kota Mataram dapat menggunakan transportasi umum menuju Kecamatan Bayan. Namun, untuk kenyamanan berwisata, disarankan bagi para wisatawan untuk menggunakan kendaraan sewaan. Selain bisa berhenti di beberapa tempat menarik yang terdapat dalam sepanjang jalan menuju Kecamatan Bayan, wisatawan juga dapat mengatur waktu kunjungan dengan lebih leluasa.
Jenis arsitektur
Tahun selesai

Masjid Al-Muhajirin Kepaon

 Masjid Al-Muhajirin adalah sebuah masjid yang terletak di Kampung Kepaon, Denpasar, Bali. Masjid ini tergolong masjid tua di kota Denpasar dan berada di tengah kota.

 Sejarah

Berdasarkan catatan sejarah, masjid ini didirikan pada tahun 1326 Hijriyah. Pada waktu pertama kali didirikan, Masjid Al-Muhajirin masih berukuran 12×12 meter. Awal pertama kali dibangun, masjid ini bernama Hamsul Mursalin. Konon, kehadiran kaum pendatang asal Madura, Bugis, Melayu, serta Bali yang mendiami kampung Kepaon setelah itu menuntut adanya peralihan nama masjid sebagai pusat sarana ibadah yang diembel-embeli dengan Muhajirin. Kehadiran seorang tokoh Islam yang berasal dari Gujarat bernama Haji Abdurrahman menjadikan masjid ini sebagai tempat peribadatan tersebut dengan nama Masjid Jamik al-Muhajirin.

[sunting] Renovasi masjid

Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1976, tembok Masjid al-Muhajirin itu retak akibat guncangan gempa yang menggoyang Pulau Bali dengan kekuatan 6,7 SR. Gempa yang mengguncang pulau Dewata itu, menuntut Masjid al-Muhajirin perlu dibangun kembali. Tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap. Tak salah kalau dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk membangun kembali masjid itu, karena harus dibangun kembali secara perlahan-lahan hingga tahun 1991.
Masjid kuno yang bertiang empat itu kemudian dipugar jadi bangunan permanen satu lantai. Tapi karena Masjid al-Muhajirin ini terletak di tengah kota, tidak mustahil jika jumlah jammah yang melaksanakan salat jumat kerap kali memenuhi ruangan masjid. Apalagi, seiring berdatangan orang-orang urban dari luar pulau Bali yang kebanyakan beragama Islam ke kota Denpasar menjadikan Masjid al-Muhajirin sebagai tempat menunaikan salat.
Tak pelak, jika jamaah yang hadir kerap memenuhi masjid sampai-sampai salat Jumat pun penuh hingga di luar masjid. Tidak salah, demi memenuhi tuntuan itu, lima belas tahun kemudian, Masjid al-Muhajirin itu ditingkatkan menjadi dua lantai. Meski demikian, Masjid al-Muhajirin tetap saja penuh sesak ketika Salat Jumat[












Masjid Agung Al-Baitul Qadim

Deskripsi arsitektur

Masjid Agung Al-Baitul Qadim adalah sebuah masjid yang terletak di Kelurahan Air Mata, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Masjid ini berusia lebih dari 200 tahun, dan merupakan masjid tertua di Pulau Timor.[1]
Walau usianya telah memasuki dua abad lebih, sebagian ruangan rumah ibadah ini di lantai satu masih menampakkan keasliannya, kecuali dipugar dengan menambahkan menjadi dua lantai.

 Sejarah

Menurut H. Mustafa, seorang penjaga Masjid Agung Al Baitul Qadim, masjid ini dibangun oleh Syah Ban bin Sanga Kala pada tahun 1806 secara gotong royong antara jemaah dan penduduk setempat yang terdiri dari orang Flores Timur dan penduduk etnis Timor, dan dijadikan sebagai tempat untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Timor. Dalam perjalanannya melakukan penyebaran agama Islam, bersama warga setempat, Syah Ban bin Sanga Kala membangun masjid pada tahun 1806 dan selesai tahun 1812.
Syah Ban bin Sanga merupakan warga Muslim pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Timor. Dia datang dari Desa Menanga, Kabupaten Flores Timur, NTT.[2]
Pada tahun 1984, oleh Imam Masjid turunan ketujuh, Birando bin Tahir, melakukan pemugaran semata untuk melestarikan keberadaannya sebagai bangunan tertua. Pemugaran ini dilakukan Birando bin Tahir atas persetujuan jemaah setempat, dengan sejumlah alasan, di antaranya bertambah pesatnya warga Muslim dam Muslimah. Pemugaran itu juga didasarkan pada kondisi rumah ibadah tertua ini tidak layak lagi dipandang, karena sebagian dinding dan atap mengalami perapuhan, sehingga perlu direnovasi, tanpa menghilangkan keasliannya yang tetap nampak pada sebagian dinding ruangan yang hingga kini masih ada.

Masjid pemersatu

Masjid ini merupakan pemersatu warga Muslim dengan non-muslim, ketika melalukan berbagai upacara keagamaan hingga melibatkan seluruh unsur etnis agama lain di daerah Kota Kupang dan sekitarnya. Karena itu tak heran kalau masjid ini banyak didatangi warga luar NTT untuk mengetahui keberadaan mesjid yang tergolong tertua di wilayah Pulau Timor ini, dan sekaligus mejadi objek wisata rohani di Kota Kupang, saat ini.
Masjid dengan arsitektur khas yang menggabungkan unsur budaya Flores Timur dengan Arab itu merupakan simbol perlawanan warga Airmata terhadap penjajahan Belanda dan Jepang.[3] Bahkan kaum penjajah kala itu mencoba menghancurkan masjid tersebut namun selalu gagal.
Masjid Agung Al Baitul Qadim yang unik, kini telah menurunkan tujuh Imam Kepala Pendahulu diantaranya, Birando bin Sya Ban, Ali bin Birando, Djamaludin, Abdul Gani, Tahin bin Ali Birando dan Birando bin Tahir.

Masjid Kuno Singaraja

Masjid Kuno Singaraja adalah sebuah masjid bersejarah yang berlokasi di Jalan Hasanuddin, kelurahan Kampung Kajanan, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia. Menurut candrasengkala yang pernah ditemukan, masjid ini didirkan pada tahun 1654 Masehi. Masjid ini menjadi kebanggaan masyarakat Singaraja, karena nilai sejarahnya yang menjadi saksi masuknya agama Islam di pulau Bali.
Menurut Dr. Sugianto, seorang peneliti budaya Bali Utara dan juga penemu kitab suci Al-Qur'an tertua di Indonesia, menyatakan bahwa masjid tua ini mempunyai peranan yang sangat besar dalam penulisan Al-Qur'an tertua di Nusantara. Lebih lanjut ia menyatakan, besar kemungkinan sebagian isi Al-Qur'an tertua itu ditulis di masjid ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya Al-Qur'an kuno beberapa puluh meter dari masjid ini.
Awalnya, masjid ini hanya berupa sekepat–tempat salat khusus bagi para saudagar yang kebetulan lewat. Kemudian, sekepat yang terletak di Muara Tukad Buleleng ini, oleh Sunan Parapen, seorang penyebar Islam yang hendak pergi ke Lombok, diperbaiki dan dibangun menjadi sebuah masjid.[1]

Spesifikasi

Masjid Sultan Ternate

Masjid 

Sultan Ternate

Masjid Sultan Ternate adalah sebuah masjid yang terletak di kawasan Jalan Sultan Khairun, Kelurahan Soa Sio, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Masjid ini menjadi bukti keberadaan Kesultanan Islam pertama di kawasan timur Nusantara ini. Kesultanan Ternate mulai menganut Islam sejak raja ke-18, yaitu Kolano Marhum yang bertahta sekitar 1465-1486 M[1]. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500), yang makin memantapkan Ternate sebagai Kesultanan Islam dengan mengganti gelar Kolano menjadi Sultan, menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, memberlakukan syariat Islam, serta membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.

Sejarah

Masjid Sultan ini diperkirakan telah dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin, namun ada juga yang beranggapan bahwa pendirian Masjid Sultan baru dilakukan awal abad ke-17, yaitu sekitar tahun 1606 saat berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Hingga sekarang, belum ditemukan angka valid sejak kapan sebetulnya Masjid Sultan Ternate didirikan. Akan tetapi, melihat kenyataan sejarah, sebelum Sultan Saidi Barakati naik tahta, Kesultanan Ternate telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di bidang keagamaan, ekonomi, maupun angkatan perang. Perjuangan Sultan Khairun (1534-1570) yang dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Sultan Baabullah (1570-1583) untuk mengusir pasukan Portugis, misalnya, menjadi salah satu fase kegemilangan Kesultanan Ternate Sekitar setengah abad sebelum berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Sehingga, perkiraan bahwa Masjid Sultan Ternate baru dibangun pada awal abad ke-17 tidak memiliki alasan yang cukup kuat.
Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Masjid Sultan Ternate dibangun di dekat Kedaton Sultan Ternate, tepatnya sekitar 100 meter sebelah tenggara kedaton. Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate. Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di masjid ini. Masjid Sultan Ternate dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas, di mana tiap tumpang dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini nampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, seperti halnya masjid-masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak berbentuk kubah, melainkan limasan.

Memiliki aturan adat yang tegas

Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Sultan Ternate yang disebut juga Sigi Lamo. Masjid ini terkenal unik karena memiliki aturan-aturan adat yang tegas[2], seperti larangan memakai sarung atau wajib mengenakan celana panjang bagi para jamaahnya, kewajiban memakai penutup kepala (kopiah), serta larangan bagi perempuan untuk beribadah di masjid ini. Berbagai aturan ini konon berasal dari petuah para leluhur (yang disebut Doro Bololo, Dalil Tifa, serta Dalil Moro) yang hingga kini masih ditaati oleh masyarakat Ternate, terutama di lingkungan kedaton. Menurut keterangan Imam Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem atau Kadhi, larangan-larangan tersebut memiliki dasar aturan yang kuat. Sejak dahulu, masjid memang menjadi salah satu tempat yang dianggap suci dan harus dihormati oleh masyarakat Ternate. Larangan kaum hawa untuk beribadah di masjid ini didasarkan pada alasan untuk menjaga kesucian masjid, yaitu supaya tempat ibadah ini terhindar dari ketidaksengajaan perempuan yang tiba-tiba saja datang bulan (haid)[3].
Di samping itu, kehadiran perempuan ditengarai juga dapat memecah kekhusyukan dalam menjalankan ibadah di masjid ini. Sementara larangan bagi jamaah yang memakai sarung atau pakaian sejenisnya didasarkan pada alasan yang bersifat tasawuf. Menurut kepercayaan mereka, posisi kaki pria ketika salat dengan mengenakan celana panjang menunjukkan huruf Lam Alif terbalik yang bermakna dua kalimat syahadat. Hal ini sebagai perlambang bahwa orang tersebut telah mengakui ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai utusannya, sehingga jiwa dan raganya telah siap untuk melaksanakan ibadah salat. Oleh sebab itu, setiap pria yang akan melaksanakan ibadah wajib mengenakan celana panjang. Untuk menertibkan aturan-aturan adat ini, setiap datang waktu salat, Balakusu (penjaga masjid) akan mengawasi setiap orang yang hendak memasuki masjid. Jika ada jamaah yang memakai sarung, maka akan ditegur dan disuruh mengganti dengan celana panjang. Jika tidak, maka jamaah tersebut disarankan untuk salat di tempat lain[4]. Tak hanya wajib mengenakan celana, para jamaah juga diharuskan memakai penutup kepala atau kopiah. Hal ini agar para jamaah tidak terganggu oleh helai-helai rambut ketika sedang melakukan salat. Berbagai macam aturan ini berlaku tidak pandang bulu, sehingga harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk sultan dan para kerabatnya. Di samping peraturan-peraturan unik tersebut, berbagai ritual keagamaan yang diselenggarakan oleh pihak kesultanan juga menambah daya tarik tersendiri bagi masjid ini.

Tradisi di Masjid Sultan

Salah satu tradisi yang setiap tahun diadakan di Masjid Sultan Ternate adalah Malam Qunut yang jatuh setiap malam ke-16 bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini, sultan dan para kerabatnya dibantu oleh Bobato Akhirat (dewan keagamaan kesultanan) mengadakan ritual khusus yaitu Kolano Uci Sabea, yang berarti turunnya sultan ke masjid untuk salat dan berdoa.
Kolano Uci Sibea biasanya dimulai dari kedaton menuju masjid untuk melaksanakan salat Tarawih. Sekitar pukul setengah delapan waktu setempat, sultan akan ditandu oleh pasukan kerajaan menuju masjid dan diiringi alunan alat musik Totobuang (semacan gamelan) yang ditabuh oleh sekitar dua belas anak kecil yang mengenakan pakaian adat lengkap di depan tandu sultan. Konon, alat musik ini merupakan pemberian Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) ketika salah seorang Sultan Ternate berguru kepadanya. Sebelum salat Tarawih dilakukan, para muadzin yang terdiri dari empat orang, mengumandangkan adzan secara bersama-sama. Menurut sebagian orang, ini untuk mengingatkan masyarakat Ternate tentang empat Soa (kelurahan pertama) di daerah Ternate. Empat Soa ini yaitu Soa Heku (Kelurahan Dufa-Dufa), Soa Cim (Kelurahan Makassar), Soa Langgar (Kelurahan Koloncucu), dan Soa Mesjid sultan sendiri. Namun, ada juga yang percaya bahwa pengumandangan adzan oleh empat muadzin tersebut melambangkan empat kerajaan terkuat yang masih saling bersaudara di kawasan Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Keempat kerajaan ini dalam kepercayaan masyarakat setempat biasa disebut Moloku Kie Raha (pemangku empat gunung atau kerajaan).
Usai melaksanakan Tarawih, sultan akan pulang ke kedaton dengan ditandu kembali seperti ketika keberangkatannya ke masjid. Di kedaton sultan bersama permaisuri (Boki) akan memanjatkan doa di ruangan khusus, tepatnya di atas makam keramat leluhur. Usai berdoa, sultan dan permaisuri akan menerima rakyatnya untuk bertemu, bersalaman, bahkan menciumi kaki sultan dan permaisuri sebagai tanda kesetiaan. Tentu saja, pertemuan langsung antara sultan dan rakyatnya ini menarik minat masyarakat di seluruh Ternate dan pulau-pulau di sekitarnya.
Dalam satu tahun, ritual Kolano Uci Sabea dilaksanakan empat kali, antara lain pada Malam Qunut, Malam Lailatul Qadar (keduanya pada bulan Ramadhan), serta pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pelaksanaan Kolano Uci Sabea dilakukan secara turun temurun oleh setiap Sultan Ternate hingga kini. Menurut kepercayaan, dalam kondisi apapun Kolano (Sultan) memang harus melakukan Sabea (salat) di Sigi Lamo (Mesjid Sultan). Selain mengunjungi masjid tua peninggalan Kesultanan Ternate ini, wisatawan juga dapat mengunjungi obyek wisata sejarah lainnya, seperti Kedaton Kesultanan Ternate, Benteng Orange, Benteng Kastela, Benteng Sentosa, serta benteng-benteng peninggalan kolonial lainnya.
   

Sultan Ternate


Afiliasi agama Islam
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur
Tahun selesai
Spesifikasi