Kamis, 19 April 2012

MASJID CHILI

1307298123605697393
Jumlah polulasi masyarakat muslim di chile  tidak sampai satu persen, negara bekas jajahan spanyol ini  mayoritas masyarakatnya  beragama roma katolik. Penduduk muslim berjumlah sekitar  3.000 orang  (sensus tahun 2002), diperkirakan saat ini berjumlah sekitar 4.000. Diantara  organisasi islam di chile, termasuk masyarakat muslim chili di mesjid  as-salam di Santiago  masjid bilal di  iquique, dan pusat kebudayaan  islam  mohammed VI  di kota Coquimbo.
Masjid yang pertama dibangun di chile adalah mezquita as-salam (masjid as-salam), dibangun pada tahun 1988 diprakarsai oleh syekh taufiq rumie, seorang pedagang  berasal dari suriah yang disebut telah memimpin komunitas muslim sekitar 60 tahun.  Tahun 1996 pembangunan mesjid selesai dan mulai digunakan oleh masyarakat muslim. Ada yang menyebut  masjid as-salam di santiago  merupakan salah satu dari tiga masjid terbaik di amerika latin  setelah masjid di  venezuela dan brasil .  Masjid ini  terdiri dari tiga  lantai, memiliki ruang baca,  ruang serba guna dan ruang untuk para tamu. Lantai tiga kebanyakan digunakan untuk jamaah wanita pada hari-hari tertentu seperti sholat jum’at, sholat idul fitri maupun sholat idul adha.
 Sedangkan masjid dan madrasah di iquique pada awalnya adalah tanah yang dibeli sekelompok pengusaha dari pakistan pada tahun 1997 kemudian dibangun masjid dan madrasah yang rampung pada tahun  1999. Masjid Bilal merupakan masjid kedua yang dibangun di Chili, dan terletak di kota Iquique. Pada tahun 1997 sekelompok pengusaha Pakistan yang tinggal di ibukota Daerah Tarapacá membeli tanah untuk pembangunan masjid dan sebuah madrasah di kota Iquique. Masjid Bilai selesai dibangun pada tahun 1999. (liputan  dan fotos  mengenai masjid ini belum dapat dilakukan, karena saya belum berkesempatan mengunjungi masjid bilal di kota iquique… )

Masjid yang agak unik ada di coquimbo.  Nama masjid adalah pusat kebudayaan islam Muhammed VI (the mohammed VI center for dialogue of civilization). Pendirian masjid dimaksud   digagas oleh walikota  pedro velasquest yanga beragama katholik pada  tahun 2004.  Luas masjid 722 meter. Masjid diresmikan  pada 2007  oleh oscar pereira, walikota pengganti sang walikota yang penggagas, dihadiri oleh  wakil dari kerajaan maroko, dubes maroko, kalangan pemerintah dan masyarakat muslim setempat. Masjid di Coquimbo ini berdiri diketinggian kota dengan menara setinggi 40 meter, terletak di puncak bukit villa dominant.  Menara masjid disebut sebagai replika dari menara masjid koutobia di marrakech, kerajaan maroko.  Menara yang bersegi empat dan ornamen masjid sangat cantik yang dikerjakan oleh pengrajin dari marokko yang dipimpin langsung oleh faissal cheradi, arsitek  dari maroko.
Pembangunan masjid dimaksud  merupakan sumbangan dari keluarga kerajaan maroko. Bila di masjid  as-salam santiago seluruh pengurusnya adalah muslim,  maka  dua  penjaga masjid, seorang setengah baya dan seorang anak muda adalah  orang chile (chileno) yang beragama katolik. Masjid ini  menjadi land mark bagi kota coquimbo, letaknya yang  di puncak bukit  menjadikan masjid ini  dapat dilihat dari seluruh penjuru  kota coquimbo, dan saat  saya  berkesempatan  menaiki menara masjid  dengan nafas terengah-engah,  maka dari ketinggian menara terlihat jelas kota coquimbo. Mesjid ini terbuka untuk umum, kecuali ruang sholat hanya diperuntukkan bagi muslim, karena disamping sebagai sarana ibadah, masjid ini juga diperuntukan bagi pusat kebudayaan. 

1307298902637482042
bagian dalam mesjid as-salam, santiago, chile

1307372157231935313
masjid as-salam, santiago
 
13073722971138269039
suasana sholat di masjid as-salam

13072927471829148558
penjaga masjid di coquimbo, chile

13073089581688024528
masjid agung di kota coquimbo

Jumat, 02 Desember 2011

Masjid Shiratal Mustaqiem

Deskripsi arsitektur
Masjid Shiratal Mustaqiem adalah masjid tertua di Samarinda yang terletak di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Masjid ini dibangun pada tahun 1881.
Masjid Shiratal Mustaqiem
Masjid Shiratal Mustaqiem (2).jpg Masjid Shiratal Mustaqiem Samarinda
Letak Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
Afiliasi agama Islam
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur Masjid
Tahun selesai 1881
Spesifikasi
Masjid Shiratal Mustaqiem adalah masjid tertua di Samarinda yang terletak di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Masjid ini dibangun pada tahun 1881.

[sunting] Sejarah

Menara Masjid.
 
Jenis arsitektur Masjid
Tahun selesai 1881

Sejarah

Menara Masjid.
Sekitar tahun 1880 silam, datang seorang pedagang muslim dari Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) bernama Said Abdurachman bin Assegaf ke Kerajaan Kutai. Berdasarkan pertimbangan berdagang sembari menyiarkan Agama Islam, ia memilih kawasan Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya. Hal itu ditanggapi dengan baik oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman. Melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalaankan syariat agama Islam, sultan akhirnya mengizinkan Said Abdurachman tinggal di kawasan Samarinda Seberang.
Mengemban amanat sebagai tokoh masyarakat bergelar Pengeran Bendahara, Said Abdurachman mempunyai tanggungjawab besar. Dulu wilayah ini adalah tempat maksiat. Orang kampung hampir tak ada yang berani ke wilayah ini karena takut. Tapi tidak dengan Pangeran Bandahara. Beliau malah mendatangi mereka yang berjudi dan mengajaknya untuk menjalankan syariat Islam.
Setelah berunding, akhirnya disepakati menjadikan tempat itu sebagai masjid untuk ibadah. Proses pembangunan masjid tersebut tentunya tak mudah. Kendati bergotong royong, untuk mendirikan 4 tiang utama atau yang disebut soko guru yang diperkirakan mempunyai tinggi 7 meter, warga tak sanggup karena besarnya tiang.
Hingga akhirnya datang seorang nenek dengan menggunakan jubah putih ke hadapan mereka. Siapa dia tak ada yang tahu. Namun ia berpesan kepada Pengeran Bendahara dan sejumlah pengikutnya. Disebutkan, ia akan membantu mendirikan 4 tiang utama tersebut dengan syarat tak ada satu wargapun yang melihat prosesi pendiriannya.
Keesokan harinya, sejumlah warga tertegun melihat 4 tiang utama sudah berdiri tegak. Bahkan saat warga mencoba mencari sosok seorang nenek tersebut, mereka tak kunjung menemukannya. Sehingga warga tak ada yang tahu pasti siapa dia.
Sepuluh tahun kemudian atau tepatnya 27 Rajab 1311 Hijriyah, pembangunan masjid akhirnya rampung. Sultan Kutai Aji Mohammad Sulaiman yang meresmikan masjid tersebut juga didaulat menjadi imam dan memimpin salat yang pertama di masjid tersebut.
Tempat ibadah umat Islam itu diketahui terbuat dari bahan Ulin yang digunakan sebagai bahan utama pembangunan masjid diambil dari empat kampung, diantaranya Karang Mumus, Dondang, Kutai Lama, dan Loa Haur.
Hingga saat ini arsitektur masjid yang selesai dibangun tahun 1891 itu tak ada yang berubah. Kendati ada perawatan yang dilakukan. Bahkan masjid bersejarah kedua terbaik se-Indonesia itu, menjadi lokasi yang sakral bagi warga setempat.[1]
Masjid ini memiliki luas bangunan sekitar 625 m² dan teras sepanjang 16 meter. Mulanya di lokasi ini dipilih karena diketahui sebagai sarang perjudian dan tempat penyembahan berhala. Karena itu, maka ketiga tokoh tersebut membangunnya agar dapat menghentikan kegiatan maksiat dan sesat tersebut. Buktinya, setelah terbangun (Masjid Shiratal Mustaqiem), ternyata kegiatan maksiat pun menghilang dan wilayah ini (Kampung Mesjid) semakin populer kala itu. Karena kepolulerannya itulah, maka daerah tempat berdirinya masjid ini diberi nama Kampung Mesjid dan kini menjadi kelurahan Mesjid.


Masjid Tua Palopo

Deskripsi arsitektur
Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu yang berlokasi di kota Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu yang bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Masjid yang memiliki luas 15 m² ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.[1]
 
Jenis arsitektur
Tahun selesai
Spesifikasi
 

Aristektur

Arsitektur Masjid Tua Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang bersebati (melekat) dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam.

Unsur

Pertama, unsur lokal Bugis.[1] Unsur ini terlihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang ditandai oleh bentuk pelipit (gerigi); dan pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau, putih dan coklat.
Kedua, unsur Jawa.[1] Unsur ini terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap rumah joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga atau sering disebut tajug. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramida paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (Cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari Cina.
Terdapat dua pendapat seputar bentuk atap Masjid Tua Palopo ini.[2] Yang pertama mengatakan bahwa atap tersebut mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa. Sementara yang kedua menolak pendapat itu, dengan berargumen bahwa bentuk tersebut merupakan pengembangan dari konsep lokal masyarakat Sulawesi Selatan sendiri. Namun demikian, mengingat hubungan antara kedua masyarakat telah terjalin begitu lama, wajar jika terjadi akulturasi budaya.[2]
Susunan atap pertama dan kedua disangga empat tiang yang terbuat dari kayu cengaduri, dengan tinggi 8,5 meter dan berdiameter 90 cm. Keempat tiang tersebut dalam konsep Jawa disebut sokoguru. Sementara itu, atap paling atas ditopang dengan satu tiang terbuat dari kayu yang sama. Dalam kearifan lokal Sulawesi Selatan, satu tiang penyangga atap paling atas yang didukung oleh empat tiang lainnya merefleksikan yang sentral (wara) dikelilingi oleh unsur-unsur lain di luar yang sentral (palili).[2]
Ketiga, unsur Hindu.[1] Unsur ini terlihat pada denah masjid yang berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konstruksi candi. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan bunga lotus, mirip dengan hiasan di Candi Borobudur. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa.
Keempat, unsur Islam.[1] Unsur ini terlihat pada jendela masjid, yaitu terdapat lima terali besi yang berbentuk tegak, yang melambangkan jumlah Salat wajib dalam sehari semalam.

Bangunan

Ukuran bangunan utama Masjid Tua Palopo yaitu 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m,[2] dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi di Jawa.
Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo atau candi candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya.[2]

 Renovasi

Sejauh ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid. Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m².[2]
Bentuk arsitektur Masjid Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, tidak berubah.[2]

Masjid Agung Awwal Fathul Mubien

Masjid Agung Awwal Fathul Mubien adalah sebuah masjid yang berlokasi di Jalan Sultan Hasanuddin, kelurahan Islam, kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara. Masjid ini didirikan sekitar tahun 1770 dan merupakan masjid pertama yang dibangun di kota Manado.[1][2]
Jenis arsitektur
Tahun selesai

Sejarah

Sekitar tahun 1760, ketika Kota Manado mulai membuka dirinya sebagai lintasan perdagangan rempah-rempah di wilayah KTI setelah Makassar, Ternate dan Ambon, Kota Manado mulai dijadikan daerah transit (persinggahan) para pedagang.[1] Awalnya para pendatang yang berprofesi sebagai pedagang dan beragama Islam dari Ternate, Tidore, Makian (Maluku Utara) dan Hitu (Ambon), mulai tinggal dan menetap sementara di Manado, tepatnya di kawasan Pondol.[1]
Seiring waktu dengan kian ramainya jalur perdagangan, para pedagang Islam dari Jawa Tengah, Solo, Yogyakarta serta Surabaya, pun mulai ikut menetap. Banyak dari mereka yang juga berprofesi sebagai pegawai yang bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda.[1] Makin banyaknya penduduk muslim baru di Manado, mereka perlahan-lahan mulai berpikir untuk mendirikan atau membangun suatu perkampungan baru yang khusus bagi komunitas muslim, agar mereka lebih leluasa menjalankan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan agama.
Keinginan mereka baru bisa terealisasi sekitar 1770 atau 10 tahun kemudian.[1] Itupun dengan persetujuan pemerintah Belanda yang memilih lokasi kosong dan layak untuk di huni, yakni ujung Utara Manado, kala itu bernama Kampung Suraya. Kampung itulah kemudian menjadi tempat bagi pendatang komunitas muslim dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya.

 Kampung Islam

Menurut penuturan Hi. Hasan Jan SE, dalam sebuah risalah singkatnya mengenai sejarah berdirinya Masjid Awal Fathul Mubien menilai, daerah tersebut dipilih karena waktu itu, wilayah tersebut rawan konflik. Artinya sering terjadi perang antar suku asli yang mendiami kawasan Manado bagian Utara dengan suku asli yang mendiami kawasan Manado bagian Selatan.
Kampung Islam mulai bertambah ramai menyusul pendatang baru yang datang dari Palembang, Padang, Banjar, Makassar, Indramayu dan Cirebon. Bahkan para pedagang Timur Tengah dari Hadramaut Yaman yang masuk melalui pantai Utara Jawa.
Di tengah-tengah kampung kemudian di dirikanlah sebuah Masjid yang diberi nama Awal Fathul Mubien yang berarti sebagai awal atau pembuka yang nyata. Kira-kira sekitar 1802 dengan keadaan bangunan masjid masih menggunakan pondasi karang berlantai papan.
Sedangkan dibagian ujung kampung disediakan lahan pekuburan khusus bagi penduduk Kampung Islam.

Pemugaran
Sekitar 1830 bangunan masjid untuk pertama kalinya dipugar. Masjid direnovasi menjadi lebih besar dengan ukuran 8 x 8 meter, dengan pondasi mulai memakai campuran kapur dengan tras. Perbaikan bangunan masjid terus dilakukan. Tahun 1930, diubah menjadi 8 x 12 meter. Selanjutnya diperluas lagi menjadi 8 x 14 meter. Selanjutnya antara 1967 – 1995 diperluas menjadi 26 x 26 meter.[3] Dan pada 2001 sampai sekarang terus dilakukan perbaikan, dengan pemasangan tegel/keramik pada semua bagian masjid. Ini dilakukan selain makin bertambahnya penduduk muslim, juga intensitas kegiatan dalam mengembangkan kebudayaan Islam makin banyak. Seperti, baca tulis Al-Quran, Barzanji, baca doa Maulud, kesenian Hadrah dan Samra.
Sebagai masjid pertama di Kota Manado dan kedua terbesar setelah Masjid Raya Ahmad Yani, Masjid Awal Fathul Mubien diberikan status sebagai masjid Agung pada 1 Juli 1991.[1] Tercatat pula, sejak masjid didirikan 1770 sampai sekarang, sudah 7 orang yang dipilih sebagai imam yakni, Taher Umar, Hi. Ahmad Buntjong, Hi. Umar Jaseh, Akwan Hamadi, Hi. Said T Bachmid, Achmad Z Makkah dan Drs Hi. Abdurrahman Noh (imam saat ini).[1]

Masjid Agung Wolio

Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu'min atau lebih dikenal dengan Masjid Agung Wolio adalah sebuah masjid yang berlokasi di Kota Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.

 Sejarah

Masjid ini dibangun pada tahun 1712 oleh Sultan Sakiuddin Durul Alam yang memimpin Kesultanan Buton ketika itu merupakan masjid tertua di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan merupakan lambang kejayaan Islam di masa itu. Para ahli meyakini Masjid Agung Wolio adalah masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Namun, sejatinya ada sebuah masjid lain yang lebih tua yang dibangun di masa pemerintah Sultan pertama Buton, Kaimuddin Khalifatul Khamis atau Sultan Murhum (1427-1473). Hanya, masjid itu terbakar dalam perang saudara di Kesultanan Buton. Selanjutnya, Sultan Sakiuddin Darul Alam, yang berhasil memenangi perang saudara tersebut, membangun Masjid Agung Wolio untuk mengganti masjid yang musnah terbakar.
Masjid berusia lebih dari 300 tahun yang terletak di dalam bekas kompleks keraton Kesultanan Buton kini tetap dimanfaatkan oleh masyarakat, bukan hanya yang berada di sekitar Masjid tetapi penduduk Kota Baubau dan Kabupaten Buton[1].

Pusat bumi

Masyarakat setempat banyak yang percaya, Masjid Agung Wolio dibangun di atas pusena tanah (pusatnya bumi). Pusena tanah tersebut berupa pintu gua di bawah tanah yang berada tepat di belakang mihrab. Disebut pusena tanah karena dari pintu gua vertikal itu konon sering terdengar suara azan dari Mekkah, Arab Saudi. Ada lagi mitos yang menyebutkan, jika melongok ke dalam lubang pusena, orang bisa melihat orang tua atau kerabat yang telah meninggal.
Namun, semua cerita rakyat itu dibantah Imam Masjid Agung Wolio, La Ode Ikhwan, 65 tahun. Menurut dia, lubang yang ada di masjid itu sebenarnya adalah pintu rahasia yang sengaja dibangun untuk menyelamatkan Sultan Buton dan keluarganya jika diserang musuh. Ikhwan mengaku pernah masuk ke lubang itu. Di dalam lubang, kata dia, terdapat lima jalan rahasia yang mengarah ke sejumlah tempat tertentu di kompleks benteng. Salah satu jalan rahasia itu ada yang tembus ke selatan benteng, tak jauh dari kompleks makam Sultan Buton[2]. Ketika masjid ini direhabilitasi pertama kali di masa kekuasaan Sultan Muhammad Hamidi pada 1930-an, pintu gua tadi ditutup semen sehingga liangnya menjadi kecil dan bulat sebesar bola kaki. Agar tak menimbulkan persepsi lain dari masyarakat, lubang tersebut ditutup dan di atasnya dibuat tempat imam memimpin salat.
Jenis arsitektur
Tahun selesai

Masjid Agung Al-Karomah

Deskripsi arsitektur
 
Masjid Agung Al-Karomah
Masjidalkaromah-martapura.jpg
Letak Bendera Indonesia Banjar, Indonesia
Afiliasi agama Islam
Provinsi Kalimantan Selatan
Distrik Martapura
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur Masjid
Gaya arsitektur Jawa, Banjar, Eropa
Tahun selesai 1863
Spesifikasi
Menara 1
Jenis arsitektur Masjid
Gaya arsitektur Jawa, Banjar, Eropa
Tahun selesai 1863
Masjid Agung Al Karomah[1] adalah masjid besar yang terletak di Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan dan merupakan masjid terbesar di Kalimantan Selatan. Masjid ini juga merupakan markah tanah dari Kota Martapura karena mudah diakses dari seluruh kota di Kalimantan Selatan karena terletak di Jl. Ahmad Yani yang merupakan jalan utama (jalan nasional) antar kota, terutama dari Kaltim (arah utara) hingga Kota Banjarmasin.

Sejarah

Sebagai pusat Kerajaan Banjar, Martapura tercatat menjadi saksi 12 sultan yang memerintah. Pada waktu itu Mesjid berfungsi sebagai tempat peribadatan, dakwah Islamiyah, integrasi umat Islam dan markas atau benteng pertahanan para pejuang dalam menantang Belanda. Akibat pembakaran Kampung Pasayangan dan Masjid Martapura, muncul keinginan membangun Masjid yang lebih besar. Tahun 1280 Hijriyah atau 1863 Masehi, pembangunan masjid pun dimulai.[2]
Bangunan asli Masjid Al-Karomah pada zaman pendudukan Belanda. Sebelumnya masjid ini bernama Masjid Jami Martapura.
Masjid Agung Al Karomah, dulunya bernama adalah Masjid Jami’ Martapura, yang didirikan oleh panitia pembangunan masjid yaitu HM. Nasir, HM. Taher (Datu Kaya), HM. Apip (Datu Landak). Kepanitiaan ini didukung oleh Raden Tumenggung Kesuma Yuda dan Mufti HM Noor.[2]
Menurut riwayatnya, Datuk Landak dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito, Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan Masjid lalu disepakati.
Tepat 10 Rajab 1315 H (5 Desember 1897 M) dimulailah pembangunan Masjid Jami’ tersebut. Secara teknis bangunan masjid tersebut adalah bangunan dengan struktur utama dari kayu ulin dengan atap sirap, dinding dan lantai papan kayu ulin. Seiring dengan perubahan masa dari waktu ke waktu masjid tersebut selalu di renovasi, tapi struktur utama tidak berubah.[2]
Malam Senin 12 Rabiul Awal 1415 H dalam perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, Masjid Jami’ Martapura diresmikan menjadi Masjid Agung Al Karomah.[2] Saat ini Masjid Agung Al Karomah berdiri megah dengan konstruksi beton dan rangka atapnya terbuat dari baja stainless, yang terangkai dalam struktur space frame. Untuk kubahnya dilapisi dengan bahan enamel.
Di dalam masjid, sampai saat ini masih dapat ditemukan dan dilihat struktur utama Masjid Jami Martapura yang tidak dibongkar, sehingga dapat dilihat sebagai bukti sejarah mulai berdirinya masjid tersebut.

 Aristektur

Dilihat dari segi arsitekturnya, bentuk Masjid Agung Al Karomah Martapura mengikuti Masjid Demak Buatan Sunan Kalijaga. Miniaturnya dibawa utusan Desa Dalam Pagar dan ukurannya sangat rapi serta mudah disesuaikan dengan bangunan sebenarnya sebab telah memakai skala.[2]
Sampai saat ini bentuk bangunan Masjid menurut K.H. Halilul Rahman, Sekretaris Umum di kepengurusan Masjid sudah tiga kali rehab. Dengan mengikuti bentuk bangunan modern dan Eropa, sekarang Masjid Agung Al Karomah Martapura terlihat lebih megah. Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama Masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam Masjid.
Arsitektur Masjid Agung Al Karomah Martapura yang menelan biaya Rp. 27 miliar pada rehab terakhir sekitar tahun 2004, banyak mengadopsi bentuk Timur Tengah. Seperti atap kubah bawang dan ornamen gaya Belanda. Semula atap Masjid berbentuk kerucut dengan konstruksi beratap tumpang, bergaya Masjid tradisional Banjar. Setelah beberapa kali rehab akhirnya berubah menjadi bentuk kubah.
Bila arsitektur bangunan banyak berubah, namun mimbar tempat khatib berkhutbah yang berumur lebih satu abad sampai sekarang berfungsi. Mimbar berukiran untaian kembang dan berbentuk panggung dilengkapi tangga yang sampai sekarang masih berfungsi dan diarsiteki H.M Musyafa.
Pola ruang pada Masjid Agung Al Karomah juga mengadopsi pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Karena mengalami perluasan arsitektur Masjid Agung Demak hanya tersisa dari empat tiang ulin atau disebut juga tiang guru empat dari bangunan lama.
Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella atau ruang keramat. Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab. Sejarahnya tiang guru empat menggunakan tali alias seradang yang ditarik beramai-ramai oleh Datuk Landak bersama masyarakat. Atas kodrat dan iradat Tuhan YME tiang Guru Empat didirikan. Masjid pertama kali dibangun berukuran 37,5 meter x 37,5 meter.

Masjid sultan suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah
Samping Masjid Suriansyah.jpg Masjid Sultan Suriansyah
Letak Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia
Afiliasi agama Islam
Deskripsi arsitektur
Jenis arsitektur Masjid
Spesifikasi
Jenis arsitektur Masjid
Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam.[1] Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih.[2] Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di tepian kiri sungai Kuin.
Masjid yang didirikan di tepi sungai Kuin ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.

Masjid Kuno

Mimbar Masjid Sultan Suriansyah.
Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi : " Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia." Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)" .[3] Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanggal 10 Sya'ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidullah I (1734-1759).
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi "Allah Muhammadarasulullah". Pada bagian kanan atas terdapat tulisan "Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri". Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.

[sunting] Filosofi Ruang

Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.